Lompatan Kemajuan Teknologi Digital — Bagaimana Dengan Literasi Digitalnya ?

Agustio A.
4 min readMar 2, 2021

--

Dengan perubahan dan perkembangan zaman yang begitu cepat, dapat diasumsikan bahwa dunia tempat kita meninggal tidak akan sama lagi dengan dunia tempat kita dilahirkan.

Menurut ilmuwan Ray Kurzweil “Kami tidak akan mengalami 100 tahun kemajuan di abad ke-21 — ini akan lebih seperti kemajuan 20.000 tahun (dengan perhitungan laju perkembangan saat ini).” tulisnya dalam ‘The Law of Accelerating Returns’.

Coba renungkan sebarapa banyak hal yang telah berubah dan berkembang dalam 20 tahun terakhir, lalu pandemi Covid-19 yang melanda pada tahun 2020 sampai hari ini seakan menambah lompatan kemajuan 2–3 tahun mendatang. Semua kegiatan masyarakat dituntut dilakukan secara online serba digital, mulai dari absen pekerjaan, rapat kerja, sekolah, sampai ibadah pun juga harus melalui jaringan digital. Pada akhirnya semakin banyak teknologi-teknologi baru yang hadir untuk dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai penunjang kebutuhan sehari-hari selama pandemi.

Dominasi teknologi dalam kehidupan sehari-hari menyoroti pentingnya literasi digital. Banyak orang berpendapat bahwa milenial harus lebih penting diajari keterampilan literasi digital dibanding kalangan tua. Padahal di masa ini merekalah yang mudah beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan berfikir secara kritis dalam menggunakan teknologi dengan aman dan efektif. Literasi digital bukan hanya sekedar mengetahui cara berfoto selfie, atau memperbarui postingan di sosial media. Literasi digital berarti memahami teknologi dan menggunakannya dengan tepat.

Kita semua tahu literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Namun di dunia digital saat ini, melek huruf saja tidak cukup lagi. Penting bagi kita semua untuk melek digital juga, karena dunia digital menawarkan manfaat dan keuntungan yang sangat besar bagi semua orang, namun, tanpa penggunaan dan pemahaman teknologi yang tepat, dunia digital dapat membahayakan.

Salah satu pemanfaatan yang cukup besar dari teknologi digital ada di dalam digitalasasi sistem pemerintahan untuk kepentingan masyarakat. Melalui konsep Smart City yang sudah dimulai oleh banyak kota di Indonesia, ada enam fokus penting, yaitu Smart Governance, Smart Branding, Smart Living, Smart Society, Smart Economy, dan Smart Environment.

Pandemi ini sebagai lompatan juga untuk membenahi sistem pemerintahan dalam melayani kepentingan masyarakat, birokrasi yang berbelit akhirnya dipangkas menjadi sangat cepat dan mudah. Transformasi digital telah memberikan Radical Improvement, memberikan value yang semakin baik bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan layanan yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah. Dari yang tadinya dua minggu bahkan satu bulan, kemudian setelah semua di digitalisasi sekarang bisa dilakukan hanya dengan beberapa menit sampai beberapa jam, ini bentuk Radical Innovation.

Literasi digital berkaitan dengan kemampuan mencari, menemukan, menggunakan, dan membuat informasi secara online dengan cara yang baik dan berguna bagi khalayak. Literasi digital juga berarti mengetahui keterbatasan teknologi dan memahami bahaya serta tindakan pencegahan yang dibutuhkan oleh pengguna teknologi itu sendiri. Ini berbeda dengan melek komputer. Tentu, bisa menggunakan komputer adalah bagian darinya. Namun literasi digital lebih mendalam daripada penggunaan komputer yang sederhana.

Contoh pentingnya literasi digital dalam masalah setahun terakhir ini adalah perlawanan terhadap infodemic Covid-19.

Hoaks menjadi permasalahan yang mengiringi perkembangan digitalasisasi — lebih tepatnya terhadap media digital. Yang bisa dilakukan kita adalah mengedukasi secara terus menerus. Selama media digital berkembang, selama itu kita harus memerangi hoaks.

Pandangan popular bahwa kalangan tua yang lebih banyak menyebarkan dan menelan informasi hoaks. Menjadikan mengapa kalangan tua yang lebih penting memahami literasi digital dibading para milenial, karena menurut analisis Kominfo mereka kalangan tua yang rata-rata umur 45 tahun ke atas yang lebih mudah menelan informasi hoaks dan menyebarkannya kembali–lebih sering dijumpai di grup WhatsApp dan sosial media Facebook. Fakta lain juga yang sudah bukan menjadi rahasia umum adalah kalangan tua yang lebih konservatif lebih mudah mempercayai dan membagikan kembali berita yang dibacanya.

Tapi berbeda kalau menurut survei theconversation pada tahun 2018 dengan 480 responden di seluruh kota dan kabupaten di Jawa Barat, provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia, tentang kecenderungan mereka dalam menyebarkan hoaks grup WhatsApp dan sosial media Facebook ditemukan hasilnya adalah faktor umur, demikian juga tingkat pendidikan, dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap kecenderungan orang menyebarkan hoaks. Orang yang cenderung menyebarkan hoaks adalah orang yang lebih sering dan lebih lama durasi penggunaan internetnya. Ini dibuktikan dari pengeluaran mereka yang cukup tinggi untuk internet.

Saran theconversation dalam menghambat penyebaran hoaks yaitu :

Pertama, faktor kepercayaan terhadap konspirasi dapat ditanggulangi dengan meningkatkan kepercayaan diri individu untuk mengontrol keadaan dan meningkatkan kemampuan analitik mereka agar tidak terjerumus pada solusi yang biasa ditawarkan dalam teori konspirasi.

Kedua, perlu ada Kedua, perlu ada perumusan baru terkait literasi media yang lebih fokus pada media sosial. Program yang baru seharusnya menitikberatkan pada kemampuan produksi dan konsumsi informasi di media sosial dan tidak bertumpu pada kemampuan memahami teks yang kita jumpai di media sosial.

Di era media sosial ini, setiap individu seharusnya tahu bagaimana konten multimedia diproduksi. Dengan pengetahuan ini, mereka memiliki keahlian untuk menafsirkan teks. Dengan memiliki kemampuan produksi konten ini, pengguna media sosial tidak akan bergantung pada hasil karya orang lain untuk disebarkan yang ada kemungkinan adalah hoaks.

Penelitian yang berkelanjutan masih sangat dibutuhkan untuk memahami mengapa kita, dengan latar belakang yang berbeda-beda, ternyata masih memiliki kecenderungan untuk menyebarkan hoaks. Salah satu yang perlu diteliti adalah kemungkinan hoaks sebagai sebuah permasalahan filosofis yang bertentangan dengan kebenaran..

Dengan mengutip ekonom Hunt Allcott dan Matthew Gentzkow dari Biro Penelitian Ekonomi di Amerika Serikat, kita memiliki masalah yang besar tentang siapa yang berhak memutuskan kebenaran sebuah artikel atau status media sosial.

Literasi digital dan tempatnya di abad ke-21 dengan kemajuan teknologi dan semakin pentingnya internet dalam masyarakat telah menjadikan literasi digital sebagai keterampilan yang dibutuhkan semua orang. Ini sudah menjadi keterampilan utama yang wajib di era digital, informasi sangat mudah dan cepat menyebar, apa yang terjadi di benua lain kita bisa mengetahui nya hanya dengan itungan menit atau jam saja.

Kita hidup dalam pikiran — dunia yang sangat berbeda daripada kakek nenek kita.

--

--