Sampai Kapan #UNASGAWATDARURAT

Agustio A.
3 min readJul 15, 2020

--

Bermula dari keinginan para mahasiswa untuk meminta tambahan pemotongan biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) karena pandemi yang sangat berdampak bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, pemotongan yang hanya 100rb dan penundaan pembayaran tidak menjadi solusi, malah akan menjadi beban keuangan di semester selanjutnya. Tidak hanya itu mahasiswa juga meminta transparansi keuangan kampus selama masa pandemi.

Pergerakan dimulai dari pernyataan penolakan dari HIMA (Himpunan Mahasiswa) mengenai pemotongan UKT yang jumlahnya hanya 100rb, tidak lama berselang, semua HIMA yang menandatangani surat pernyataan tersebut diancam untuk dibekukan apabila tetap melanjutkan protes terhadap kampus.

Berlanjut setelah ancaman pembekuan muncul Aliansi UGD (Unas Gawat Darurat) melalui Instagram dan Twitter, dari sana mulai tuntutan pertama kali dilancarkan yang berisi: Penolakan pemotongan biaya UKT yang jumlahnya hanya 100rb; Pastikan Dosen dan Staf mendapatkan upah yang sesuai; Transparansi keuangan di masa pandemi.

Setelah media sosial diramaikan dengan hastag #UNASGAWATDARURAT, pihak kampus memanggil beberapa mahasiswa untuk diminta klarifikasi perihal pergerakan ini.

Pertama kali UGD turun sebagai Aksi solidaritas di depan kampus UNAS dalam mengawal teman-teman yang diminta klarifikasi tentang akun instagram unasgawatdarurat. Aksi solidaritas dibalas tindakan intimidasi dan represi dari pihak keamanan kampus, salah satu peserta aksi solidaritas yang juga anggota pers mahasiswa sempat digiring ke Polsek Pasar Minggu, bahkan dokumen foto dan video miliknya turut dirampas dan dihapus pihak keamanan.

Aksi terus berlanjut hingga akhirnya muncul hal yang mengejutkan dari pihak kampus Universitas Nasional. Mereka menjatuhkan sanksi ke 11 mahasiswanya: 3 orang dikenai sanksi Drop Out (DO), 2 diskorsing, dan 6 diberikan peringatan keras.

“apa yang diminta mahasiswa itu dijamin dalam UU.” Pasal 48 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tegas mengatakan: “Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.” Kata Jeanny Silvia Sari Sirat pengacara publik LBH Jakarta. Kepada reporter Tirto, Kamis (9/7/2020)

Jeanny mengatakan apabila Unas tak mau buka-bukaan soal dana UKT, maka tak perlu mengintimidasi mahasiswa, apalagi memberi sanksi.

Ia juga mengatakan wajar bila mahasiswa masih terus menuntut kampus karena kebijakan terbaru dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tak menjawab kegelisahan mereka. Peraturan yang dimaksud adalah Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tidak ada satu poin pun yang menyebutkan peraturan itu terkait dengan wabah. “Jika tak berdasar pada itu [situasi darurat], apa tujuan dikeluarkan Permendikbud ini?” kata Jeanny, menyebut alasan pertama.

Kedua, sebelum ada peraturan itu, ada beberapa PTN yang mengurangi ongkos UKT dan terdapat kata ‘dapat’ dalam ranah persetujuan pengurangan biaya. “Kata ‘dapat’ dalam bahasa hukum itu biasa. Tergantung pihak kampus menyetujui atau tidak,” katanya.

“Ketika [pemenuhan hak] itu diberikan ke pihak kampus dengan kata ‘dapat’, sebenarnya negara sedang lepas tangan,” papar Jeanny.

Mau sampai kapan mahasiswa harus terus berdemonstrasi, audiensi tak pernah terealisasi, yang ada malah intimidasi dan represi. Apa menunggu gesekan antara mahasiswa dan pihak keamanan menuai korban jiwa baru kami di dengarkan.

#UNASGAWATDARURAT

--

--