Tenggelamkan Stigma Sosial di Masyarakat

Agustio A.
4 min readMay 1, 2020

--

Hari ini kita hidup dimasa bersejarah, ketika angka kematian di dunia melambung tinggi, tingkat pengagguran yang meroket, dan ancaman kemiskinan ada di depan mata. Tapi Bumi memperlihatkan kebalikannya; ketika penetapan lockdown, perubahan kualitas air dan udara yang dirasakan di beberapa negara yang terkena wabah menjadi membaik. Namun, setelah kondisi kembali normal, semua orang kembali ke jalan, dan industri memulai produksinya kembali, perubahan positif yang terjadi terhadap bumi tidak bertahan lama. Seperti di Wuhan, setelah kebijakan lockdown dicabut pada 8 April lalu, tingkat emisi karbon meningkat kembali.

Dua bulan sudah dari kasus positif pertama COVID-19 berada di Indonesia, dan sampai hari ini masih hangat diperbincangkan di masyarakat, diikuti dengan problematikanya. Data yang diambil dari covid19.go.id per 1 mei 2020, pada pukul 4:00PM GMT+7, menunjukkan total 10.551 kasus di 34 Provinsi dan 318 kabupaten/kota, sebanyak 800 kasus di antaranya meninggal dunia dan 1.591 orang dinyatakan telah sembuh. Jumlah orang dites 76.538, total Orang Dalam Pengawasan berjumlah 233.120 dan Pasien Dalam Pengawasan berjumlah 22.123.

Informasi edukatif dan persuasif sudah digaungkan oleh Pemerintah, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan para Influencer yang juga giat memberikan informasi tentang bahaya COVID-19. Tapi banyak masyarakat yang masih sangat awam tentang COVID-19, mulai dari cara menyikapi keselamatan diri sendiri dan apa yang harus dilakukan jika timbul gejala dalam diri.

Informasi yang salah tentang COVID-19 dapat membunuh orang, semua negara harus mengeluarkan informasi dan memberikan peringatan kesehatan resmi.

Segerombolan isu-isu tentang COVID-19 — bahwa itu dapat dicegah dengan minum alkohol; bahwa virus dapat terbunuh oleh paparan dingin atau sebaliknya dengan udara panas; atau jika kita menahan napas selama 10 detik berarti kita bisa terbebas dari virus — informasi ini beredar di seluruh dunia. Semuanya tidak terbukti dan benar-benar salah.

Masalah lainnya adalah beberapa rumor yang mencoba menyalahkan organisasi tertentu; kelompok etnis atau individu, sehingga ada risiko stigma dan ketakutan yang terjadi di masyarakat, yang berakibat memojokkan etnis dari negara yang membawa virus; membuat para pasien COVID-19 dan petugas kesehatan dikucilkan di lingkungan mereka, sampai pengusiran dari indekos nya. Jahat sekali.

Stigma dan stereotip negatif ini berkontribusi terhadap tingginya angka kematian akibat COVID-19,

“Stigma harus dilihat secara satu kesatuan, karena stigma tidak semata-mata sebuah sikap atau perilaku pada suatu suasana yang menjadi tidak baik, tapi stigma juga akan menimbulkan marginilasiasi dan memperburuk status kesehatan dan tingkat kesembuhan. Inilah yang perlu dipahami bahwa stigma berkontibusi terhadap tingginya angka kematian.”

Kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah kesehatan Jiwa dan Napza Kementrian Kesehatan Fidiansjah dalam keterangannya di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid-19, Graha Badan Nasioanl Penanggulangan Bencana (BNPB) Jakarta, Jumat (1/5)

Mengapa COVID-19 menyebabkan stigma yang begitu banyak di masyarakat. Menurut UNICEF, tingkat stigma yang terkaait dengan COVID-19 didasarkan pada tiga faktor utama: 1) itu adalah penyakit yang baru dan masih banyak yang tidak mengetahui informasi lengkapnya; 2) kita sering takut pada yang tidak diketahui; dan 3) mudah kaitkan rasa takut itu dengan ‘orang lain’.

Dapat dimengerti bahwa ada kebingungan, kecemasan, dan ketakutan di antara masyarakat, sayangnya faktor-faktor ini juga memicu stereotip yang berbahaya.

Stigma dapat merusak kohesi sosial dan mendorong kemungkinan isolasi sosial kelompok, yang mungkin berkontribusi pada situasi di mana virus cenderung menyebar. Ini bisa menghasilkan lebih banyak masalah kesehatan yang parah dan kesulitan mengendalikan wabah penyakit.

Stigma bisa mendorong orang untuk menyembunyikan penyakit untuk menghindari diskriminasi; mencegah orang mencari perawatan kesehatan dengan segera; dan mencegah mereka dari mengadopsi perilaku sehat.

Generasi z dan generasi milenial menjadi garda terdepan dalam keluarga untuk memberikan informasi-informasi terkait gejala apa saja yang ditimbulkan oleh COVID-19, bagaimana COVID-19 bisa menjangkit manusia, dan bagaimana kita harus bersikap jika terpapar.

COVID-19 hanya akan menyerang tubuh kita dan menjadi sakit, sedangkan stigma di masyarakat menyerang psikis, dan bisa menimbulkan depresi; bisa menyebabkan kondisi tubuh semakin menurun karena memikirkan omongan orang di lingkungan terdekatnya.

Kemunculan stigma COVID-19 telah menyoroti garis patahan yang sudah ada sebelumnya yang memungkinkan sejumlah kelompok yang terpinggirkan jatuh melalui celah-celah. Ditentang bahwa penjelasan yang telah diajukan untuk stigma sepenuhnya tidak dapat dibenarkan. Mereka hanya memberi asupan stereotip dan tertanam dalam bias yang tidak disadari; terpolitisasi; dan mementingkan diri sendiri.

Semua ini memberikan kita jeda untuk memikirkan kembali justifikasi kosong untuk stigma sosial yang umum dalam masyarakat kita yang tidak peduli. Mungkin setelah semua ini berlalu, setelah virus ini pergi dengan sendirinya, kita mungkin akan tergugah; terinspirasi, mengingat kerugian terhadapa diri kita sendiri dan orang lain, yang pada akhirnya lebih berbelas kasih terhadap diri sendiri dan orang-orang yang terpinggirkan di masyarakat.

Dengan krisis muncul peluang, kita semua bisa bertahan, kita semua akan bangkit kembali dari hari-hari kelam ini, memulai kebiasaan baru dan kehidupan yang serba bersih untuk kemaslahatan orang banyak dan bumi yang kita singgahi.

Stigma sosial dan diskriminasi adalah fenomena abadi yang tampaknya semakin meningkat selama pandemi ini. Meskipun kekhawatiran tentang COVID-19 dapat dipahami; Alih-alih mengecualikan seluruh ras selama masa yang menakutkan ini, kita harus mencoba mendukung mereka sebagai bentuk solidaritas. Sangat penting untuk melihat kita dalam semua keragaman dan menantang stereotip yang ada. Kita semua berisiko sakit; Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu; semuanya punya resiko yang sama. Pegangan erat semuanya, bersama kita mampu melewati ini semua.

COVID-19 sudah merupakan tragedi, jadi kita tidak boleh membiarkan kepanikan dan ketakutan kita membiakkan intoleransi dan rasisme. Kita perlu berhenti menormalisasi rasisme dan diskriminasi terhadap kemanusiaan.

Tidak berguna lagi menyalahkan siapapun dalam kasus pandemi ini, mencegah dan menghentikan stigma di sekitar kita menjadi hal yang bijak. Mari saling bantu dan saling jaga. Kita semua bertarung dalam pertempuran yang sama.

https://www.instagram.com/p/B9lkk35F2KC/

Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.

--

--